Jakarta, 9 Juli 2025 – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menyelidiki dugaan praktek kolusi dan mark-up harga dalam pengadaan obat-obatan yang masuk dalam layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS. Investigasi awal menunjukkan keterlibatan 7 perusahaan farmasi besar nasional, termasuk tiga yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
📄 Skema Kolusi: Dari Distributor ke Dinas Kesehatan
Menurut hasil audit sementara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), skema kolusi ini dilakukan melalui:
-
Penunjukan distributor tunggal oleh perusahaan farmasi tanpa proses lelang transparan.
-
Penetapan harga jual yang jauh melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET).
-
Dugaan suap ke pejabat dinas kesehatan dan manajemen rumah sakit.
KPK menyebutkan bahwa nilai penggelembungan mencapai Rp 1,2 triliun hanya dalam rentang tahun 2022–2024.
💊 Dampak ke Masyarakat: Obat Sulit, BPJS Defisit
Efek langsung dari skandal ini sangat merugikan masyarakat, antara lain:
-
Banyak rumah sakit daerah kehabisan stok obat generik esensial seperti insulin, antihipertensi, dan antibiotik.
-
Pasien BPJS sering diminta membeli obat secara mandiri di apotek luar dengan harga lebih tinggi.
-
Defisit anggaran BPJS Kesehatan meningkat akibat pembengkakan klaim biaya obat.
“Ini bukan hanya kejahatan ekonomi, tapi kejahatan terhadap hak dasar warga untuk sehat,” ujar Ketua YLKI, Tulus Abadi.
🧑⚖️ Langkah Hukum KPK: Sudah Ada 3 Tersangka
KPK telah menetapkan 3 tersangka awal, dua di antaranya berasal dari direksi perusahaan farmasi dan satu pejabat di Kementerian Kesehatan. Penggeledahan dilakukan di 9 lokasi, termasuk gudang farmasi dan kantor dinas kesehatan di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
KPK juga menggandeng Interpol dan Komisi Persaingan Usaha (KPPU) untuk menelusuri kemungkinan keterlibatan jaringan lintas negara dan kartel harga.
⚖️ Tanggapan Pemerintah dan Industri
Menteri Kesehatan dr. Dante Sihombing menyatakan komitmennya untuk mendukung penuh investigasi, serta mengumumkan moratorium sementara terhadap pengadaan obat lewat distributor tunggal.
Sementara itu, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) menyebut kasus ini sebagai tindakan oknum dan bukan cerminan industri secara keseluruhan. Namun, publik menuntut audit terbuka dan sanksi tegas terhadap semua pihak yang terlibat.
📌 Kesimpulan
Skandal pengadaan obat BPJS ini menyoroti rapuhnya sistem transparansi dalam sektor kesehatan publik. Ketika korupsi masuk ke jalur distribusi obat, yang menjadi korban bukan hanya uang negara, tapi jutaan pasien yang menggantungkan hidup pada layanan BPJS.
“Korupsi dalam pengadaan obat bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi pelanggaran kemanusiaan,” ujar pakar kebijakan publik UI, Dr. Reno Ginting.