Para peneliti internasional mengumumkan keberhasilan komersialisasi baterai berbasis air laut sebagai solusi penyimpanan energi ramah lingkungan. Teknologi ini dipandang sebagai terobosan besar dalam mendukung transisi dunia menuju energi terbarukan.
Cara Kerja Baterai Air Laut
Baterai ini memanfaatkan natrium yang terkandung dalam air laut sebagai pengganti litium yang mahal dan langka. Prinsipnya serupa dengan baterai ion litium, namun menggunakan elektrolit berbasis larutan garam sehingga:
-
Biaya produksi lebih murah hingga 70%
-
Aman karena tidak mudah terbakar
-
Ramah lingkungan dengan bahan baku melimpah dari lautan
Selain itu, baterai air laut mampu mempertahankan kapasitas penyimpanan hingga 20 tahun dengan degradasi minimal.
Aplikasi dan Potensi
Teknologi ini dirancang untuk skala besar, seperti:
-
Penyimpanan energi surya dan angin
-
Cadangan listrik darurat untuk rumah sakit atau pusat data
-
Grid listrik pintar di kota-kota masa depan
Pemerintah Singapura telah memesan instalasi pertama berkapasitas 500 MWh untuk proyek kota pintar Tuas Nexus.
Dampak Terhadap Industri
Penggunaan baterai air laut dapat:
-
Mengurangi ketergantungan pada penambangan litium yang merusak lingkungan
-
Menekan biaya penyimpanan energi terbarukan
-
Mempercepat adopsi pembangkit listrik nol emisi
Profesor Kim Soo-jin dari Universitas Nasional Seoul mengatakan, “Dengan sumber daya natrium yang hampir tak terbatas, teknologi ini dapat menjadi tulang punggung sistem energi bersih global.”
Tantangan yang Dihadapi
Meskipun menjanjikan, pengembang menghadapi tantangan seperti:
-
Efisiensi yang masih sedikit di bawah baterai litium
-
Kebutuhan infrastruktur baru untuk distribusi massal
-
Skala produksi yang harus ditingkatkan untuk memenuhi permintaan global
Kesimpulan:
Baterai air laut adalah inovasi penyimpanan energi yang berpotensi mengubah peta industri energi terbarukan dunia. Dengan biaya rendah, bahan baku melimpah, dan umur panjang, teknologi ini bisa menjadi kunci menuju masa depan bebas emisi.